Bagian 97 - Tebing Kayu Hitam

Shangguan Yun membawa Ren Woxing menyusup ke markas.

Tebing Kayu Hitam terletak di wilayah Hebei, arah ke timur dari Gunung Henshan. Setelah beberapa hari perjalanan sampailah mereka di wilayah tersebut. Di sepanjang jalan Linghu Chong dan Ren Yingying menumpang di dalam kereta yang berbeda dengan tirai tertutup untuk menghindari mata-mata Dongfang Bubai. Malam itu mereka menginap di Kota Dingzhou yang sudah tidak jauh lagi dari markas Sekte Matahari dan Bulan. Di dalam kota itu banyak anggota Sekte yang berlalu-lalang. Shangguan Yun menugasi empat anak buahnya menjaga di sekitar penginapan. Siapa pun yang tidak berkepentingan dilarang keras mendekat.

Sewaktu makan malam, Ren Yingying mengiringi Linghu Chong minum arak. Cahaya lilin yang berkedip-kedip makin menambah kecantikan gadis itu. Setelah meneguk tiga mangkuk arak, Linghu Chong berkata, “Yingying, saat di Biara Shaolin tempo hari ayahmu berkata hanya mengagumi tiga setengah tokoh besar pada zaman ini, dan Dongfang Bubai adalah yang nomor satu. Kalau orang ini mampu merampas kedudukan ketua sekte dari tangan ayahmu, sudah tentu ia seorang yang mahapintar. Menurut cerita kaum persilatan, konon ilmu silatnya juga nomor satu di dunia ini. Apa betul demikian?”

“Dongfang Bubai seorang yang mahacerdik dan banyak tipu muslihat memang tidak perlu disangsikan lagi,” jawab Ren Yingying. “Tapi mengenai sampai di mana ilmu silatnya, aku tidak mengetahuinya dengan begitu jelas, karena beberapa tahun terakhir ini aku sangat jarang berjumpa dengannya.”

“Ya, tentunya kau lebih sering tinggal di Pondok Bambu Hijau sehingga jarang berjumpa dengannya,” ujar Linghu Chong.

“Bukan begitu. Meski aku tinggal di pinggiran Kota Luoyang, tapi setiap tahun aku pulang ke Tebing Kayu Hitam satu atau dua kali. Namun demikian, tetap saja aku jarang bertemu Dongfang Bubai. Menurut cerita para tetua agama kami, akhir-akhir ini makin sulit untuk bertemu dengan sang ketua.”

“Orang yang berkedudukan tinggi seperti dia sengaja jual mahal agar lebih diagungkan orang,” kata Linghu Chong.

“Itu memang salah satu alasan tepat. Tapi kuduga tentu dia sedang giat berlatih ilmu di dalam Kitab Bunga Mentari sehingga tidak ingin pemusatan pikirannya terganggu,” jawab Ren Yingying

Linghu Chong berkata, “Ayahmu pernah bercerita padaku, dulu karena terlalu asyik berlatih cara-cara memusnahkan bergolaknya hawa murni yang dihisap oleh Jurus Penyedot Bintang membuat urusan Sekte sehari-hari kurang menjadi perhatiannya. Kesempatan itu akhirnya digunakan Dongfang Bubai untuk merebut kekuasaan. Apakah mungkin Dongfang Bubai akan mengulangi kesalahan ayahmu itu?”

“Sejak Dongfang Bubai tidak banyak memegang urusan Sekte, akhir-akhir ini semua kekuasaan boleh dikata jatuh ke tangan bocah bermarga Yang itu. Bocah itu bisa dijamin tidak akan merampas kedudukan Dongfang Bubai, maka tentang terulangnya peristiwa dahulu tidak perlu dikhawatirkannya,” jawab Ren Yingying.

“Bocah bermarga Yang katamu? Siapa dia? Mengapa selama ini belum pernah kudengar?” tanya Linghu Chong lagi.

Tiba-tiba wajah Ren Yingying menunjukkan perasaan rikuh. Dengan tersenyum ia menjawab, “Kalau bicara tentang dia hanya mengotori mulut saja. Orang di dalam sekte kami yang tahu seluk-beluknya tidak ada yang sudi membicarakannya, apalagi orang di luar jelas takkan ada yang tahu tentang dia.”

Linghu Chong semakin penasaran dibuatnya. Ia pun bergaya merengek, “Adik manis, coba ceritakanlah padaku.”

Ren Yingying menjawab, “Bocah bermarga Yang itu bernama lengkap Yang Lianting. Usianya belum genap tiga puluh. Ilmu silatnya rendah, tidak becus bekerja pula. Tapi entah mengapa, akhir-akhir ini Dongfang Bubai sangat sayang dan percaya kepadanya, sungguh sukar dimengerti.” Wajah Ren Yingying kembali bersemu merah, mulutnya agak mencibir dengan sikap yang mengejek.

Linghu Chong menanggapi, “Ah, bocah bermarga Yang itu pasti laki-laki simpanan Dongfang Bubai. Sungguh tidak kusangka, Dongfang Bubai yang gagah dan berilmu tinggi, ternyata dia … dia suka menyimpan laki-laki.”

Ren Yingying risih dan menyahut, “Sudahlah, tak perlu dibicarakan lagi. Aku pun tidak tahu apa yang dipikirkan Dongfang Bubai. Yang jelas semua urusan hampir dia serahkan kepada Yang Lianting sehingga banyak kawan-kawan dalam sekte kami yang menjadi korban keculasan si marga Yang itu. Sungguh, bocah itu pantas dibinasakan.”

Tiba-tiba dari luar jendela terdengar suara orang tertawa dan berseru, “Ucapanmu itu salah. Sebaliknya, kita harus banyak berterima kasih kepada bocah bermarga Yang itu.”

“Ayah!” seru Ren Yingying gembira. Segera ia pun membuka pintu.

Ren Woxing dan Xiang Wentian melangkah masuk. Keduanya sama-sama berdandan sebagai kaum petani berbaju kasar, memakai caping besar menutupi wajah pula. Kalau tidak mendengar suaranya tentu sukar mengenali kedua orang tua itu. Segera Linghu Chong memberi hormat dan menyuruh pelayan menambah makanan dan peralatan.

Ren Woxing berkata dengan penuh semangat “Akhir-akhir ini aku dan Adik Xiang menghubungi kawan-kawan lama di dalam Sekte, hasilnya ternyata sangat memuaskan. Delapan dari sepuluh kawan menyambut kemunculanku dengan gembira. Mereka berkata, akhir-akhir ini Dongfang Bubai sudah banyak melakukan penyimpangan dan dijauhi para pengikutnya. Terutama karena bocah bermarga Yang itu, yang asalnya cuma seorang keroco, lantaran bisa mengambil hati Dongfang Bubai sehingga mendapatkan kekuasaan. Kemudian dengan banyak gaya, tidak sedikit tokoh-tokoh terkemuka dan berjasa di dalam Sekte yang menjadi korbannya. Disingkirkan atau dibunuh. Perbuatan bocah bermarga Yang itu bukankah sangat menguntungkan kita? Bukankah seharusnya kita malah berterima kasih kepadanya?”

Ren Yingying mengangguk, lalu bertanya, “Dari mana Ayah mengetahui kedatangan kami?”

“Adik Xiang sempat berkelahi dengan Shangguan Yun, kemudian baru kami tahu kalau dia telah tunduk kepadamu,” kata Ren Woxing dengan tertawa.

“Paman Xiang tidak melukai dia, bukan?” tanya Ren Yingying.

“Tidak mudah melukai Pendekar Elang,” ujar Xiang Wentian dengan tersenyum.

Tiba-tiba terdengar suara suitan melengking tajam dari luar, sampai-sampai mendirikan bulu roma di malam sunyi itu.

“Apakah Dongfang Bubai mengetahui kedatangan kita?” kata Ren Yingying. Lalu ia berpaling dan menjelaskan kepada Linghu Chong, “Suara suitan ramai itu adalah tanda untuk menggerebek musuh atau menangkap kaum pengkhianat. Bila mendengar tanda-tanda itu serentak para anggota Sekte harus bersiap siaga.”

Sejenak kemudian, terdengar suara empat ekor kuda melaju dengan cepat melintas di depan penginapan. Salah seorang penunggang kuda itu berseru, “Tetua Balai Angin Guntur, Tong Baixiong, telah bersekongkol dengan musuh dan bermaksud memberontak. Ketua memberikan perintah kepada segenap anggota untuk membantu menangkapnya segera. Bila melawan boleh dibunuh tanpa bertanya.”

“Paman Tong memberontak? Mana mungkin?” ujar Ren Yingying lirih. Sayup-sayup terdengar suara derap laju kuda itu semakin lama semakin menjauh. Linghu Chong dapat melihat kejadian tadi yang jelas menunjukkan kalau wilayah di kota itu sudah berada dalam kekuasaan Sekte Matahari dan Bulan, sementara pemerintah resmi sama sekali tidak berdaya.

“Tajam juga sumber berita Dongfang Bubai. Baru kemarin kami bertemu dengan si tua Tong dan sekarang hal ini sudah diketahui olehnya,” kata Ren Woxing.

Ren Yingying merasa lega, “Jadi Paman Tong juga sanggup membantu kita?”

“Mana mau dia mengkhianati Dongfang Bubai,” jawab Ren Woxing. “Lama sekali aku dan Adik Xiang bicara dengannya, namun sukar sekali mengubah pendiriannya. Akhirnya dia berkata, ‘Hubunganku dengan Ketua Dongfang boleh dikata sehidup-semati, hal ini pun sudah kalian ketahui. Tapi sekarang kalian sengaja membujuk aku, jelas kalian memandang rendah kepadaku dan menganggapku sebagai pengecut yang suka menjual kawan. Memang akhir-akhir ini Ketua Dongfang tidak sedikit berbuat kesalahan karena dipengaruhi penjilat busuk itu. Namun, andai nanti Ketua Dongfang hancur lebur juga aku si marga Tong tidak akan berbuat sesuatu pun yang tidak baik kepadanya. Aku memang bukan tandingan kalian berdua, jika mau bunuh, silakan bunuh saja sekarang.’ – Hm, si tua Tong itu makin tua makin berapi.”

“Sungguh seorang kesatria sejati, seorang kawan yang setia,” ujar Linghu Chong.

“Jika dia sudah menolak bujukan Ayah, kenapa sekarang Dongfang Bubai justru hendak menangkapnya?” tanya Ren Yingying.

“Ini namanya dunia sudah terbalik,” sahut Xiang Wentian. “Umur Dongfang Bubai belum terlalu tua, tapi tindak tanduknya sudah pikun. Kawan karib yang setia seperti Tong Baixiong itu ke mana lagi hendak dicari?”

“Tapi dengan adanya perselisihan antara Dongfang Bubai dengan Tong Baixiong, itu berarti malah menguntungkan usaha kita,” kata Ren Woxing tertawa. “Mari kita sama-sama mengeringkan satu cawan.”

Mereka berempat lantas mengangkat cawan sebagai tanda ucapan selamat dan bersyukur, lalu meneguk isinya sampai habis.

Ren Yingying menjelaskan kepada Linghu Chong, “Paman Tong itu seorang tokoh sepuh dalam sekte kami. Dahulu ia banyak berbuat jasa sehingga sangat dihormati. Biasanya ia tidak begitu cocok dengan Ayah, tapi sangat akrab dengan Dongfang Bubai. Bagaimanapun kesalahan yang ia perbuat seharusnya Dongfang Bubai dapat memaafkannya.”

Ren Woxing menyahut, “Dongfang Bubai hendak menangkap Tong Baixiong, sudah tentu di Tebing Kayu Hitam saat ini dalam keadaan kacau. Ini adalah kesempatan yang bagus bagi kita untuk naik ke sana.”

“Bagaimana kalau kita undang pula Shangguan Yun untuk diajak berunding?” tanya Xiang Wentian.

“Boleh,” jawab Ren Woxing.

Xiang Wentian melangkah keluar, dan tidak lama kemudian masuk lagi bersama Shangguan Yun. Begitu melihat Ren Woxing, segera Shangguan Yun menyembah penuh hormat, “Hamba Shangguan Yun menyampaikan hormat kepada Ketua, semoga Ketua panjang umur, hidup abadi, merajai dunia persilatan.”

Dengan tertawa Ren Woxing menjawab, “Saudara Shangguan, kudengar kau ini seorang laki-laki yang keras, mengapa dalam pertemuan pertama ini kau sudah mengucapkan basa-basi demikian?”

Shangguan Yun merasa bingung, kemudian berkata, “Hamba tidak paham, mohon Ketua sudi memberi petunjuk.”

Ren Yingying menyela, “Ayah, barangkali kau merasa heran terhadap pujian-pujian yang diucapkan Paman Shangguan tadi?”

“Ya, aku merasa seperti menjadi kaisar dengan sanjung puji yang luar biasa itu. Memangnya aku ini Kaisar Qin Shihuang?” kata Ren Woxing.

Ren Yingying menjawab, “Semua itu sengaja ditetapkan Dongfang Bubai agar anak buahnya selalu mengucapkan sanjung puji demikian bila berhadapan dengannya. Rupanya Paman Shangguan sudah terbiasa memakai pujian-pujian seperti itu sehingga kepada Ayah pun ia menggunakan kata-kata yang sama.”

“O, kiranya demikian. Panjang umur, hidup abadi, merajai dunia persilatan, bagus juga cita-cita seperti ini. Tapi kalau bukan dewa mana mungkin bisa hidup abadi?” kata Ren Woxing. “Saudara Shangguan, kabarnya Dongfang Bubai memerintahkan untuk menangkap Tong Baixiong. Kukira saat ini suasana di Tebing Kayu Hitam sedang kacau-balau. Bagaimana kalau malam ini juga kita naik ke atas sana?”

Shangguan Yun menjawab, “Ketua sangat bijaksana. Rencana Ketua sungguh sempurna dan bisa membuka mata banyak orang, bermanfaat bagi rakyat jelata. Siasat ini tidak mungin bisa dikalahkan, dan kemenangan akan berada dalam genggaman Ketua. Hamba akan melaksanakan perintah ini dengan baik, dan akan selalu setia kepada Ketua. Jika hamba berani membantah biarlah hamba mati seribu kali.”

Ren Woxing terperanjat mendengarnya. Ia mendengar nama besar Shangguan Yun di dunia persilatan sebagai sosok yang keras dan jujur, tapi mengapa ia begitu pandai mengucapkan kata-kata sanjungan yang menjijikkan macam itu? Apakah berita di dunia persilatan itu keliru, ataukah nama besar Shangguan Yun yang salah alamat?

“Ayah,” ujar Ren Yingying menyela, “untuk menyusup ke dalam Tebing Kayu Hitam sebaiknya kita menyamar saja supaya tidak dikenali musuh. Yang lebih penting lagi adalah kita harus menghafal kalimat-kalimat yang lazim digunakan di sana saat ini, yaitu sanjung puji sebagaimana yang diucapkan Paman Shangguan tadi. Kalimat-kalimat demikian sebenarnya buatan Yang Lianting untuk menjilat Dongfang Bubai. Rupanya Dongfang Bubai sangat senang menerima pujian-pujian semacam itu. Kalau bawahannya tidak mengucapkan sanjung puji demikian lantas dianggap berdosa dan dijatuhi hukuman, bahkan sampai dibinasakan.”

“Kalau bertemu Dongfang Bubai, apa kau sendiri juga menggunakan sanjung puji sialan seperti itu?” tanya Ren Woxing.

“Kalau tinggal di Tebing Kayu Hitam, mau tidak mau terpaksa harus mengikuti peraturan di sana,” jawab Ren Yingying. “Maka dari itu, aku lebih sering tinggal di Luoyang, untuk menghindari rasa muak terhadap tingkah laku menjijikkan mereka itu.”

“Saudara Shangguan,” kata Ren Woxing, “untuk selanjutnya kita tidak perlu memakai cara-cara seperti tadi.”

“Baik,” jawab Shangguan Yun, kemudian melanjutkan, “Ketua sangat bijaksana dan mahaadil. Perintah Ketua akan selalu dilaksanakan meskipun ratusan tahun berlalu, terang cemerlang bagaikan mentari yang menghangatkan bumi, tentu akan hamba patuhi. Semoga Ketua panjang umur, hidup abadi.”

Ren Yingying geli mendengarnya dan menutup mulut supaya tidak mengeluarkan suara tawa.

“Bagaimana pendapatmu agar kita dapat naik ke Tebing Kayu Hitam dengan lancar?” tanya Ren Woxing.

“Tentu Ketua sudah memiliki rencana dan perhitungan yang bagus,” jawab Shangguan Yun. “Pada zaman sekarang ini, siapa orangnya yang bisa menandingi kepandaian Ketua? Di hadapan Ketua mana berani hamba ikut bicara?”

“Apakah di waktu Dongfang Bubai mengadakan perundingan urusan penting, tidak seorang pun yang berani angkat bicara?” tanya Ren Woxing.

Ren Yingying menyela, “Dongfang Bubai seorang mahacerdik, orang lain sukar menandingi kepandaiannya. Maka biasanya memang tidak seorang pun yang berani mengusulkan sesuatu kepadanya. Kalau pun ada yang mempunyai pendapat juga tidak berani sembarangan bicara supaya tidak mendapatkan bencana di kemudian hari.”

“O, ternyata demikian,” kata Ren Woxing. “Saudara Shangguan, ketika Dongfang Bubai menyuruhmu pergi menangkap Linghu Chong, perintah apa yang dia berikan padamu?”

“Dia mengatakan akan ada hadiah besar apabila kami dapat menangkap Pendekar Linghu. Bila tidak bisa menangkapnya, kami harus membawa pulang kepala kami sendiri,” jawab Shangguan Yun.

“Baik, sekarang juga kau boleh mengikat Linghu Chong dan menerima hadiahmu nanti,” kata Ren Woxing dengan tertawa.

Shangguan Yun tergetar mundur dan berkata, “Pendekar Linghu adalah kesayangan Ketua. Beliau sudah berjasa besar bagi agama kita. Mana berani hamba berlaku kurang sopan kepada Beliau?”

“Bukankah tempat kediaman Dongfang Bubai sangat sulit didatangi?” ujar Ren Woxing, “Dengan meringkus Linghu Chong, tentu dia akan menerima kedatanganmu,”

“Siasat ini sangat bagus,” seru Ren Yingying gembira. “Kita bisa menyamar sebagai anak buah Paman Shangguan untuk menemui Dongfang Bubai. Setelah berhadapan dengan dia, serentak kita mengangkat senjata dan mengerubutnya. Tidak peduli apakah dia sudah berhasil menguasai semua ilmu dalam Kitab Bunga Mentari atau belum, yang pasti dia tentu sulit menandingi serbuan empat orang sekaligus.”

Xiang Wentian menambahkan, “Sebaiknya Adik Linghu pura-pura terluka parah dengan tangan dan kaki dibalut, dinodai dengan bercak darah pula, lalu kita menggotongnya dalam usungan. Dengan demikian, Dongfang Bubai pasti tidak akan berjaga-jaga. Selain itu, kita juga dapat menyembunyikan senjata di dalamnya.”

“Bagus, bagus!” seru Ren Woxing setuju.

Sementara itu dari ujung jalan raya kembali terdengar suara deru laju kuda disertai teriakan seorang penunggangnya, “Tetua Balai Angin Guntur sudah tertangkap! Tetua Balai Angin Guntur sudah tertangkap!”

Ren Yingying melambaikan tangan mengajak Linghu Chong keluar ruangan. Di dekat pintu gerbang peninapan, mereka melihat puluhan penunggang kuda memegang obor, menggiring seorang tua lewat dengan cepat. Orang tua itu diikat dengan tangan ditelikung di belakang, sedangkan wajahnya tampak berlumuran darah. Sepertinya ia baru saja bertempur hebat melawan para penangkapnya. Seluruh rambut dan jenggot orang tua itu sudah beruban, namun tubuhnya gagah tinggi besar, dengan sorot mata berkilat-kilat, seperti menanggung kemarahan yang sangat dalam.

Dengan suara perlahan Ren Yingying berbisik kepada Linghu Chong, “Dulu bila bertemu dengan kakek itu, Dongfang Bubai selalu memanggilnya dengan sangat akrab, bagaikan saudara kandung. Siapa sangka sekarang dia sudah melupakan hubungan baik di masa lalu?”

Tidak lama kemudian Shangguan Yun telah menyediakan usungan dan sebagainya. Ren Yingying membalut lengan Linghu Chong dengan kain putih dan menggantungkannya di depan dada. Seekor kambing disembelih pula dan darahnya dipakai untuk melumuri badan pemuda itu.

Ren Woxing dan Xiang Wentian lantas berganti pakaian, menyamar sebagai anak buah Shangguan Yun. Ren Yingying juga menyamar sebagai laki-laki. Wajah mereka sengaja dikotori supaya sulit untuk dikenali lagi. Setelah makan kenyang, mereka pun berangkat menuju Tebing Kayu Hitam.

Kira-kira empat puluh li di sebelah barat laut Kota Dingzhou terdapat sebuah batu tebing berwarna merah darah di tepi sebuah teluk panjang. Air di teluk itu mengalir sangat deras. Teluk tersebut terkenal dengan sebutan Teluk Monyet. Lebih ke utara lagi dari teluk panjang itu hampir kedua tepinya hanya berupa tebing-tebing licin. Di situ hanya terdapat sebuah jalanan batu selebar satu meteran. Sepanjang jalan dijaga dengan ketat oleh anggota Sekte Matahari dan Bulan. Namun begitu melihat Shangguan Yun yang datang, para penjaga itu tampak sangat segan dan langsung memberi hormat.

Setelah menyusuri tiga jalan pegunungan, akhirnya mereka sampai juga di tepi teluk. Shangguan Yun melepaskan panah isyarat ke udara. Dari seberang muncul tiga buah sampan datang menyambut mereka. Dalam hati Linghu Chong mengagumi betapa hebat penjagaan yang dibangun Sekte Matahari dan Bulan selama ratusan tahun itu. Andai saja bukan karena Shangguan Yun, jangan harap orang luar mampu masuk ke dalam markas sekte yang ketat itu.

Sampai di seberang, jalanan bertambah curam. Semua orang harus meninggalkan kuda dan berjalan kaki untuk melaluinya. Beberapa orang memegang obor kayu cemara untuk menerangi jalan. Ren Yingying selalu berjaga di samping usungan dengan penuh kewaspadaan. Sepasang pedang pun siap di tangannya. Ia khawatir jangan-jangan anak buah Shangguan Yun yang sedang membawa usungan itu tiba-tiba memberontak dan melemparkan Linghu Chong ke dasar jurang, tentu akibatnya sangat mengerikan.

Ketika rombongan itu sampai di depan gerbang markas Sekte Matahari dan Bulan, hari masih sangat gelap. Shangguan Yun mengirim orang untuk menyampaikan laporan bahwa perintah Sang Ketua telah dilaksanakan dengan baik. Tidak lama kemudian terdengar suara gong ditabuh nyaring. Serentak Shangguan Yun berdiri tegak penuh hormat.

Ren Yingying sergera berbisik kepada ayahnya, “Lekas berdiri tegak, ada titah Sang Ketua.”

Ren Woxing merasa heran, tapi ia pun menurut dan segera berdiri tegak. Dilihatnya segenap anak buah Shangguan Yun juga mendadak berdiri tegak. Suara gong tadi terus bergema dari atas menuju ke bawah dengan sangat cepat. Ketika suara itu berhenti, barulah semua orang berani bergerak. Seorang berbaju kuning tampak masuk ke ruangan tunggu dan membentangkan selembar kain berwarna kuning pula. Ia membaca tulisan pada kain itu, “Ketua Dongfang pemimpin Sekte Matahari dan Bulan yang mahabijak dan mahaagung, ahli sastra yang bewatak kesatria, memberikan titah sebagai berikut: Jia Bu dan Shangguan Yun telah melaksanakan perintah dan pulang dengan hasil yang baik. Jasa mereka patut mendapat pujian. Diperintahkan sekarang juga boleh menghadap ke atas dengan membawa tawanan.”

Shangguan Yun membungkuk dengan penuh hormat, “Semoga Ketua panjang umur, hidup abadi, merajai dunia persilatan.”

Diam-diam Linghu Chong merasa geli karena kelakuan mereka itu seperti peran kasim istana dalam sandiwara di panggung.

Sementara itu Shangguan Yun berseru pula, “Ketua sudi menerima hamba menghadap, budi baik mahabesar ini takkan hamba lupakan seumur hidup.”

Serentak anak buahnya juga berseru menirukan, “Ketua sudi menerima hamba menghadap, budi baik mahabesar ini takkan hamba lupakan seumur hidup.” Sudah tentu Ren Woxing dan Xiang Wentian hanya komat-kamit saja, sambil menggerutu dalam hati.

Begitulah, rombongan itu lantas naik ke atas tebing melalui undak-undakan batu. Mereka melintasi tiga buah pintu terali besi dan setiap kali selalu ditegur oleh para penjaga menggunakan kata sandi rahasia dan diperiksa pula tanda perintah yang tergantung di pinggang mereka. Akhirnya, rombongan itu sampai juga di depan sebuah pintu batu besar. Pada kedua sisi pintu itu terpahat tulisan-tulisan besar yang artinya mengagungkan penghuni di dalamnya, antara lain “Ahli Sastra Berbudi Luhur, Kesatria Rendah Hati” di pintu kiri, dan “Adil Bijaksana” pada pintu kanan. Selain itu terdapat pula papan nama tergantung bertuliskan: “Sekte Matahari dan Bulan”.

Setelah melewati pintu batu itu, terlihat sebuah keranjang bambu besar di atas tanah. Begitu besar keranjang bambu itu sehingga cukup untuk memuat belasan orang sekaligus.

“Angkat tawanan ke dalam situ!” seru Shangguan Yun.

Linghu Chong segera digotong oleh Ren Woxing, Xiang Wentian, dan Ren Yingying bertiga ke dalam keranjang raksasa tersebut. Ketika terdengar bunyi gong tiga kali, keranjang itu mulai naik ke atas. Rupanya di atas terdapat suatu kerekan untuk menarik keranjang itu menaiki tebing. Sewaktu Linghu Chong memandang ke sekelilingnya, terlihat beberapa titik sinar bintang, jelas menunjukkan Tebing Kayu Hitam ini memang luar biasa tingginya.

Ren Yingying menggenggam tangan Linghu Chong. Dalam kegelapan tampak pula gumpalan-gumpalan mega melayang lewat di atas kepala mereka. Sejenak kemudian mereka semua sudah ditelan oleh lautan awan. Kali ini titik-titik sinar tadi sudah tidak terlihat lagi, yang ada hanya kegelapan menyelimuti mereka.

Beberapa waktu kemudian barulah keranjang raksasa itu berhenti. Linghu Chong diusung keluar dan dipindahkan lagi ke sebuah keranjang lain yang terletak belasan meter di sebelah kiri. Rupanya puncak Tebing Kayu Hitam itu terlalu tinggi sehingga kerekan-kerekan yang dipasang itu terbagi dalam empat tingkat. Empat kali mereka harus dikerek barulah mencapai puncak tebing tersebut. Melewati itu semua Linghu Chong merenung, “Sedemikian tinggi tempat tinggal Dongfang Bubai, pantas saja para bawahan sukar sekali bertemu dengannya.”

Akhirnya sampai juga mereka di puncak tebing. Sementara itu matahari telah terbit pula di ufuk timur dan memancarkan sinarnya yang gemilang. Sebuah gapura megah terbuat dari batu marmer berwarna putih berkilauan terkena cahaya matahari. Pada batu itu tertulis sebuah kalimat dalam huruf-huruf berwarna kuning keemasan: “Demi Kebahagiaan Rakyat Jelata”.

Linghu Chong kembali berpikir, “Di dunia ini mana ada yang bisa menandingi kemegahan Dongfang Bubai? Bahkan, Shaolin dan Wudang juga belum tentu mampu, apalagi Huashan dan Henshan. Dongfang Bubai memang manusia terpelajar, jelas berbeda dengan orang kebanyakan yang kasar.

Sebaliknya, Ren Woxing menggerutu membaca tulisan pada gapura marmer tersebut, “Demi kebahagiaan rakyat jelata? Huh!”

Shangguan Yun kemudian berseru, “Hamba Shangguan Yun, pemimpin Balai Macan Putih mohon bertemu atas izin Ketua.”

Dari sebuah rumah batu kecil di sebelah kiri muncul empat orang, semuanya berbaju ungu. Seorang di antaranya berkata, “Selamat atas jasa besar yang telah dicapai Tetua Shangguan. Mengapa Tetua Jia tidak ikut datang?”

“Tetua Jia telah gugur melawan musuh sebagai wujud pengabdian dan balas budinya kepada Ketua yang mahabijak,” jawab Shangguan Yun.

“O, kiranya demikian,” kata orang itu. “Jika begitu Tetua Shangguan tentu akan segera naik pangkat.”

“Bila mendapat anugerah Ketua, tentu kebaikan Saudara takkan kulupakan,” ujar Shangguan Yun.

Mendengar ucapan Shangguan Yun yang berjanji akan memberi hadiah kepadanya, orang itu terlihat senang, kemudian berkata, “Kalau begitu aku yang harus lebih dulu berterima kasih kepada Tetua Shangguan.”

Ia kemudian melirik ke arah Linghu Chong yang telentang di atas usungan. Sambil tertawa ia berkata, “Apakah bocah ini yang digandrungi Nona Ren? Tadinya kukira dia setampan Pan An atau Song Yu dalam cerita dongeng, tak tahunya cuma begini saja. Tetua Balai Naga Hijau Shangguan, silakan ikut denganku.”

Shangguan Yun menjawab, “Ketua belum mengangkat derajatku, janganlah Saudara buru-buru memanggil demikian kepadaku. Kalau sampai Ketua atau Pengurus Yang mendengar ini, aku bisa celaka.”

Orang itu meringis dan menjulurkan lidah, kemudian tidak bicara lagi. Ia lantas mendahului berjalan di depan. Dari gapura itu menuju ke pintu gerbang harus melalui sebuah jalan balok batu yang lurus. Setelah memasuki pintu gerbang, dua orang berbaju ungu yang lain mengantar mereka ke ruang belakang. Kepada Shangguan Yun ia berkata, “Pengurus Yang berkenan menemuimu, silakan tunggu di sini.”

“Baik,” jawab Shangguan Yun sambil berdiri tegak dengan kedua tangan lurus ke bawah.

Cukup lama mereka menunggu tapi orang yang disebut “Pengurus Yang” itu belum juga terlihat datang. Selama itu pula Shangguan Yun tetap berdiri tegak dan tidak berani mengambil tempat duduk.

Dalam hati Linghu Chong berpikir, “Kedudukan Tuan Shangguan di dalam sekte ini cukup tinggi, boleh dikata hanya satu-dua tingkat saja di bawah ketua. Namun di atas Tebing Kayu Hitam ini ternyata hampir setiap orang tidak menghargainya, seakan-akan seorang pelayan juga lebih terhormat daripada dia. Lalu siapa pula Pengurus Yang itu? Kemungkinan besar pasti Yang Lianting. Padahal dia hanya seorang ‘pengurus rumah tangga’ saja, tetapi seorang Tetua Balai Macan Putih yang termasyhur ternyata harus berdiri menunggunya dengan penuh hormat. Huh, Dongfang Bubai sungguh keterlaluan!”

Selang agak lama barulah terdengar suara langkah orang datang ke tempat itu. Dari suara kakinya yang dangkal menunjukkan kalau orang ini tidak memiliki tenaga dalam yang kuat. Kemudian terdengar orang itu berdehem satu kali, lalu muncul dari balik pintu.

Ketika Linghu Chong melirik, dilihatnya pria itu berusia kurang dari tiga puluh. Ia memakai jubah satin berwarna merah gelap, badannya kekar, mukanya berewok, sikapnya pun terlihat gagah. Jika orang awam yang melihat tentu mengira dia menguasai ilmu silat tinggi.

Kembali Linghu Chong merenung, “Menurut cerita Yingying, orang ini sangat disayang oleh Dongfang Bubai, mungkin pula keduanya mempunyai hubungan istimewa. Tadinya kukira dia pasti seorang bocah berwajah manis yang suka bersikap manja, ternyata seorang laki-laki kekar begini. Apakah orang ini bukan Yang Lianting.”

Terdengar orang itu berkata, “Tetua Shangguan, kau telah berjasa besar dengan berhasil menangkap Linghu Chong, untuk ini Ketua merasa sangat senang.” Orang itu bertubuh gagah tapi ternyata bersuara sangat merdu dan enak didengar.

Shangguan Yun membungkuk dan menjawab, “Semua ini berkat restu dari Ketua yang mahaagung dan petunjuk dari Pengurus Yang yang bijaksana. Hamba hanya sekadar menjalankan titah.”

Linghu Chong terkejut dalam hati, “Hah, orang ini benar-benar Yang Lianting!”

Yang Lianting berjalan mendekati usungan dan memandangi Linghu Chong. Dengan sengaja Linghu Chong membuka mulutnya setengah menganga dan sorot mata buram sehingga mirip seperti orang yang benar-benar terluka parah.

“Orang ini tampaknya setengah sekarat. Apa benar dia ini Linghu Chong? Apa kau tidak keliru?” tanya Yang Lianting.

“Tidak mungkin keliru, hamba menyaksikan sendiri dia dilantik sebagai Ketua Perguruan Henshan,” jawab Shangguan Yun. “Itu karena tiga jalan darahnya yang penting telah tertotok tiga kali oleh Tetua Jia dan terkena pukulanku dua kali pula. Lukanya sangat parah. Jangan-jangan dalam waktu setahun belum bisa pulih.”

“Bagus, bagus!” puji Yang Lianting. “Kau telah memukul kekasih Nona Ren sampai seperti ini. Hati-hati, dia akan datang membunuhmu.”

“Hamba hanya setia kepada Ketua,” jawab Shangguan Yun. “Hamba tidak peduli meskipun harus celaka di tangan orang, yang penting hamba bisa mati demi Ketua, ini merupakan cita-cita tertinggi hamba seumur hidup.’

“Tentu saja,” jawab Yang Lianting. “Jasamu ini tentu akan kulaporkan kepada Ketua dan kau akan mendapatkan ganjaran semestinya. Tetua Balai Angin Guntur telah berkhianat. Apakah kau sudah mengetahui urusan ini?”

“Hamba tidak jelas duduk persoalannya dan berencana meminta petunjuk Pengurus Yang. Apabila Ketua dan Pengurus Yang memberikan perintah, hamba siap mengorbankan jiwa raga demi terlaksananya tugas tersebut. Sedikit pun hamba tidak akan membantah meski harus mati seribu kali,” jawab Shangguan Yun.

Yang Lianting lantas duduk di atas kursi sambil menghela napas, lalu berkata, “Si tua Tong Baixiong makin tua makin menjadi. Dia suka berlagak sebagai orang kepercayaan Ketua dan memandang sebelah mata kepada orang lain. Akhir-akhir ini dia bahkan bersekongkol dan berkomplot dengan maksud memberontak kepada Ketua. Memang sudah lama kulihat tingkahnya yang mencurigakan itu, tapi siapa sangka dia malah tambah berani? Akhir-akhir ini bahkan bersekongkol dengan pengkhianat besar Ren Woxing.”

“Dia … dia berkomplot dengan … dengan orang bermarga Ren itu?” Shangguan Yun menegas dengan suara agak gemetar.

“Tetua Shangguan, kenapa kau jadi ketakutan begini?” tanya Yang Lianting. “Ren Woxing itu bukan manusia yang bertangan enam dan berkepala tiga. Dahulu Ketua pernah membuatnya tak berdaya. Jika dia masih tetap hidup sampai sekarang, itu semua karena kebaikan hati Ketua. Kalau sekarang dia berani datang lagi ke Tebing Kayu Hitam ini, hm, apa dia tidak takut disembelih seperti ayam?”

“Ya, ya. Entah bagaimana Tong Baixiong itu bersekongkol dengan dia?” Shangguan Yun bertanya dengan tergagap-gagap.

Yang Lianting menjawab, “Tong Baixiong telah mengadakan pertemuan rahasia dengan Ren Woxing dan seorang pengkhianat lainnya, yaitu Xiang Wentian. Ketika dia kembali ke sini dan kutanyakan perbuatannya itu, ternyata Tong Baixiong mengakuinya dengan terus terang.”

“Dia mengaku terus terang, jelas tuduhan padanya bukanlah fitnah,” ujar Shangguan Yun.

“Kutegur dia mengapa tidak melapor kepada Ketua tentang pertemuannya dengan Ren Woxing dan Xiang Wentian, dia menjawab bahwa Ren Woxing telah memperlakukannya bagaikan teman lama, maka ia pun mengatakan pada pertemuan itu hanyalah pertemuan persahabatan saja. Kukatakan padanya, ‘Munculnya Ren Woxing jelas hendak memusuhi Ketua, hal ini tentu kau sudah tahu. Tapi mengapa kau anggap musuh sebagai sahabat?’ – Dia menjawab, ‘Mungkin Ketua yang salah dan bukan orang lain yang salah terhadap Ketua!’”

“Tua bangka kurang ajar!” gerutu Shangguan Yun. “Keluhuran budi Ketua setinggi langit. Beliau sangat baik dan murah hati terhadap sesama kawan, mana bisa berbuat salah kepada orang lain? Pasti orang itu yang berbuat kurang ajar kepada Ketua.” Bagi pendengaran Yang Lianting, ucapan Shangguan Yun ini tentu ditujukan kepada Ketua Dongfang, tapi bagi Linghu Chong dan yang lain, ucapan itu sengaja untuk mengambil hati Ketua Ren.

Terdengar Shangguan Yun melanjutkan, “Hamba sudah bertekad akan mengabdi sepenuh jiwa raga kepada Ketua. Bila ada orang yang berani berbuat kurang sopan kepada Ketua, baik dalam kata maupun perbuatan, maka Shangguan Yun yang pertama-tama akan menghadapinya.”

Kata-kata Shangguan Yun itu jelas menyindir Yang Lianting, namun yang disindir tidak mengetahui sama sekali, sebaliknya malah menanggapi dengan tertawa, “Bagus, bila semua saudara dalam agama kita bisa meniru kesetiaan Tetua Shangguan, tentu tidak ada hal yang tidak bisa diatasi. Tentunya Tetua Shangguan sudah lelah, silakan beristirahat saja.”

“Tapi, tapi hamba ingin menghadap Ketua,” kata Shangguan Yun dengan bingung. “Setiap kali melihat wajah emas Ketua, hamba merasa lebih bersemangat untuk bekerja lebih baik. Tenaga dan kekuatan hamba pun rasanya meningkat pesat bagaikan berlatih selama sepuluh tahun.”

“Ketua sangat sibuk, mungkin tidak ada waktu untuk menerima dirimu,” ujar Yang Lianting.

Shangguan Yun lantas merogoh sakunya dan mengeluarkan belasan butir mutiara. Kepada Yang Lianting ia mendekat dan berbisik, “Pengurus Yang, delapan belas butir mutiara ini adalah hasil yang kuperoleh dalam dinas luar kali ini. Semuanya kupersembahkan kepada Pengurus Yang dengan harapan Pengurus Yang sudi menghadapkan hamba kepada Ketua. Bila Ketua senang hati, bisa jadi Beliau akan menaikkan pangkat hamba. Jika demikian, tentu bantuan Pengurus Yang takkan kulupakan pula.”

“Aih, kita ini orang sendiri, mengapa harus banyak adat begini?” ujar Yang Lianting meringis. “Baiklah, aku terima. Terima kasih banyak.” Tiba-tiba ia pun berbisik pula, “Di hadapan Ketua nanti tentu Beliau akan kubujuk agar mengangkatmu sebagai Tetua Balai Naga Hijau.”

Shangguan Yun membungkuk berkali-kali, kemudian berkata, “Bila hamba mendapatkan kedudukan itu, selama hidup tentu takkan lupa kepada budi baik Pengurus Yang.”

“Silakan kau tunggu sebentar di sini, bila Ketua sudah longgar kesibukannya, kau akan segera dipanggil masuk,” kata Yang Lianting sambil memasukkan mutiara-mutiara tadi ke dalam sakunya.

Shangguan Yun menjawab, “Baik, baik, baik.” Ia lalu merunduk-runduk beberapa langkah ke belakang. Yang Lianting sendiri lantas bangkit dari kursi dan melangkah ke dalam dengan lagak seperti tuan besar.

Selang agak lama, seorang pelayan berbaju ungu tampak keluar, lalu berseru lantang, “Ketua yang mahaagung, mahabijaksana, memerintahkan Tetua Balai Macan Putih Shangguan Yun menghadap dengan membawa tawanan!”

Shangguan Yun menjawab, “Terima kasih atas kesediaan Ketua. Semoga Ketua panjang umur, hidup abadi, merajai dunia persilatan!” Ia kemudian berjalan mengikuti pelayan itu ke ruangan dalam dengan disusul oleh Ren Woxing bertiga yang mengusung Linghu Chong.

Di sepanjang jalan di serambi samping tampak berbaris para penjaga dengan bersenjata tombak. Perjalanan rombongan itu seluruhnya melintasi tiga buah pintu besi, kemudian menyusuri lagi sebuah serambi panjang yang dijaga oleh beberapa ratus penjaga yang berbaris di kanan-kiri dengan senjata golok disilangkan ke atas. Rombongan Shangguan Yun itu menerobos lewat di bawah barisan golok tersebut. Kalau saja para penjaga itu serentak mengayunkan goloknya, tentu mereka semua langsung kehilangan kepala.

Tokoh-tokoh yang sudah kenyang pengalaman seperti Ren Woxing dan Xiang Wentian sudah tentu memandang sebelah mata terhadap barisan penjaga seperti itu. Mereka hanya kesal karena harus merendahkan diri demi bisa berhadapan dengan Dongfang Bubai. Linghu Chong berpikir, “Dongfang Bubai benar-benar ketat dalam menjaga dirinya. Sanjung puji yang disampaikan anak buahnya jelas bukan karena hormat kepadanya, tapi hanya karena takut belaka.”

Setelah menerobos barisan golok itu, sampailah mereka di depan sebuah pintu yang bertirai tebal. Shangguan Yun menyingkap tirai tebal itu lantas melangkah ke dalam. Tiba-tiba muncul sinar putih berkilatan. Ternyata ada delapan batang tombak dari kanan-kiri menusuk ke arahnya. Empat tombak mengancam di depan dada, sedangkan empat lainnya mengancam di dekat punggung. Masing-masing tombak itu hanya berjarak beberapa senti saja dari tubuh Shangguan Yun.

Linghu Chong terkejut dan segera meraba pedang yang tersembunyi di balik pembalut yang membungkus pahanya. Tapi dilihatnya Shangguan Yun tetap berdiri tegak tanpa melawan, sebaliknya lantas berseru lantang, “Hamba Shangguan Yun, Tetua Balai Macan Putih mohon bertemu Ketua yang mahaagung dan mahabijaksana, ahli ilmu sastra yang berwatak kesatria!”

Terdengar suara orang berseru dari dalam ruang balairung, “Masuk!”

Serentak kedelapan penjaga bertombak itu menyingkir ke samping. Baru sekarang Linghu Chong paham, bahwa tusukan tombak-tombak tadi hanya untuk menakut-nakuti saja. Bila yang datang memang orang bermaksud jahat tentu akan langsung menangkis tusukan-tusukan itu dan rencananya pun terungkap sudah.

Setelah memasuki balairung, Linghu Chong terkesiap menyaksikan ruangan yang luar biasa panjangnya itu. Lebar balairung itu paling-paling cuma sepuluh meter, tapi panjangnya mencapai ratusan meter. Di ujung balairung terdapat sebuah panggung dan di atasnya duduk seorang pria tua berjenggot. Tentunya orang itu yang bernama Dongfang Bubai.

Pelayan membacakan titah di depan Shangguan Yun.
Yang Lianying memeriksa Linghu Chong.

(Bersambung)